Gus Dur – sapaan K.H. Abdurrahman Wahid – pernah berujar, apabila
kita baik, maka orang tidak akan mempertanyakan agama kita. Nilai
kebaikan tidak berkurang hanya karena kita menganut agama berbeda.
Selama menjadi orang yang baik, maka kita tetap orang baik dan paling
menarik untuk dijadikan teman, tanpa mempedulikan apakah kita Islam,
Kristen, Hindu, Budha, atau Konghucu.
Sebaliknya, selama kita tidak baik, maka mau orang Islam, Kristen,
Hindu, Budha, atau Konghucu, kita tetap saja tidak baik dan kurang
menarik dijadikan teman. Alih-alih menimbulkan kebaikan dan kenyamanan,
orang yang tidak baik malah menimbulkan keburukan dan ketidaknyamanan,
meskipun dalam pengakuannya, ia menganut agama yang sama dengan kita.
Sama seperti kebaikan yang bernilai universal, sesungguhnya
pertemanan pun bersifat universal. Pertemanan berlaku di mana pun dan
didambakan siapa pun. Kalaupun terdapat beberapa pihak yang saling
bermusuhan, sulit dipungkiri bahwa pada dasarnya, mereka sendiri
mendambakan pertemanan. Berteman ialah fitrah (kecenderungan) asasi
manusia.
Pertemanan tidak beragama. Hubungan pertemanan bukan kekhasan Islam
semata-mata. Hubungan pertemanan tidaklah milik Kristen belaka. Hubungan
pertemanan bukan kepunyaan Hindu saja. Pertemanan bukan pula sekadar
milik Budha atau Konghucu. Pertemanan adalah juga milik orang-orang
agnostik (tak beragama) bahkan – bila benar-benar ada – milik
orang-orang ateis.
Hubungan pertemanan melampaui batas-batas anutan agama. Orang yang
berteman tidak harus dengan orang seagama, melainkan bisa pula dengan
orang berbeda agama maupun yang tidak beragama. Rumus sederhana dalam
hubungan pertemanan hanyalah simbiosis mutualisme (hubungan saling
menguntungkan di antara para pelakunya).
Karena itu, mudah dimengerti apabila para pendiri bangsa ini berteman
dan memiliki hubungan pertemanan lintas agama. Dalam kasus Soekarno,
sosok ini populer sebagai the solidarity maker (tokoh
pemersatu). Bung Karno – sapaan Soekarno – bukan saja menyatukan
rakyatnya yang berbeda-beda agama, tetapi juga memiliki teman lintas
agama, baik di dalam maupun di luar negeri.
Nyaris tiada yang meragukan keislaman Mohammad Hatta. Namun, sosok
ini menjalin pertemanan yang erat dengan berbagai kalangan dari lintas
agama, baik di dalam maupun di luar negeri. Bung Hatta – sapaan Mohammad
Hatta – berhubungan baik dengan teman-temannya yang Kristen saat
belajar di Belanda, dan berteman dengan Mahatma Gandhi dan Jawaharlal
Nehru yang Hindu.
Demi membuktikan betapa kesamaan agama tidak selalu linier dengan
pertemanan, lihatlah hubungan para pendiri bangsa yang Kristen dengan
para penjajah Belanda yang juga Kristen. Para pendiri bangsa yang
Kristen bersikukuh memerangi penjajah Belanda yang juga Kristen. Sebab,
penjajahan tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan bertentangan dengan
ajaran Kristen.
Tampaknya, penulis harus membenarkan pernyataan Gus Dur di atas dan
memuji kearifan tindakan Soekarno, Mohammad Hatta, dan para pendiri
bangsa yang Kristen tersebut. Perbuatan mereka dalam konteks ini –
meminjam istilah Yudi Latif – adalah mata air keteladanan. Teladan
mereka telah ikut menjernihkan dan menyegarkan pemahaman penulis atas
makna pertemanan.
Setelah berumur sepertiga abad lebih sedikit dan mengalami
banyak hal dalam dinamika pertemanan, bahkan menyimak aneka pemberitaan
dan membaca sekian karya ilmiah perihal pertemanan, penulis akhirnya
sampai kepada tesis – dalam pengertian pendapat – bahwa pertemanan itu
melampaui sekat atau batas agama. Faktor utama terjadinya pertemanan
adalah kecocokan dan kenyamanan.
Dalam konteks ini, sepertinya penulis harus bercerita tentang Julius
(bukan nama sebenarnya). Julius pernah belajar di Sekolah Menengah Umum
(SMU) dan perguruan tinggi yang sama dengan penulis. Kendati ia Kristen
yang tergolong minoritas, baik saat di SMU maupun di perguruan tinggi,
akan tetapi Julius pandai bergaul dengan orang Islam, sehingga temannya
pun banyak.
Bukan sekadar berstatus sebagai pelajar dan mahasiswa, tetapi ia pun
aktif dalam kegiatan ekstra kurikuler dan unit kegiatan mahasiswa.
Julius bukan hanya berteman dengan sesama Kristen, melainkan juga dengan
muslim (orang-orang yang menganut agama Islam). Tentu saja terdapat
kecurigaan yang menguntitnya, namun berkat sikap dan perilakunya,
kecurigaan itu luntur dengan sendirinya.
Bagi Julius dan teman-temannya, hubungan pertemanan melampaui urusan
atau sekat-sekat agama. Karena merasa cocok dan nyaman, mereka pun
berteman. Kecocokan dan kenyamanan ini meliputi sikap toleran dalam
beragama. Bahkan bagi mereka, pertemanan yang bersifat lintas agama
diyakini sebagai bagian dari ajaran agama masing-masing.
Singkat cerita, pasca lebih dari satu dekade menamatkan jenjang
S1-nya, maka melalui akun media sosialnya, penulis tahu bahwa kini
Julius bekerja sebagai staf pengajar di salah satu universitas di
Thailand. Perawakannya gemuk. Namun, bukan itu yang membuat penulis
antusias. Hal yang menarik dari orang ini adalah kisah perjalanan
silaturahminya saat pulang kampung.
Jadi, dalam festival mudik Idulfitri tahun 2016 beberapa pekan silam,
Julius pun ternyata mudik. Ia pulang ke Indonesia. Menariknya, melalui
akun Facebook miliknya, penulis paham bahwa kepulangannya ini ia
manfaatkan untuk berkeliling menemui teman-teman lamanya di berbagai
kota berbeda. Julius menyambangi teman-temannya yang Muslim.
Dalam sebuah foto di laman media sosial, ia mengunggah kegiatan
temannya yang ia temui tengah mengajar mengaji kepada anak-anak. Di
pihak yang lain, Julius sendiri menggunakan foto profil media sosialnya
tengah menaiki skuter sambil mengenakan kaos bertuliskan Christian Club.
Seolah ia berpesan bahwa ia bangga menjadi Kristen dan gembira berteman
dengan teman-teman muslimnya.
Dengan antusias, penulis pun bertanya di kolom komentar di bawah foto
dan tulisan yang ia unggah di media sosial. “Julius, kamu benar-benar
berkeliling menemui teman-temanmu? Untuk apa?” Tanyaku, polos. “Benar.
Saya kangen mereka” katanya, terkekeh. “Lalu, kapan kamu menemui saya?”
tanya saya lagi. “Kapan kamu ada waktu?” jawabnya, serius.
Sampai tiba waktunya kembali ke Thailand, kami akhirnya tidak bertemu
muka. Tampaknya karena saya tak menjawab pertanyaan terakhirnya itu.
Betapa pun tidak bertemu muka lebih dari lima tahun, namun kami masih
dapat berinteraksi melalui media sosial. Saya masih ingat dengan Julius
yang mudah bergaul dan kocak. Ia setia kawan dan sangat menghargai
pertemanan.
Maka, ketika ingat lagi dengan tesis (pendapat) tentang jalinan
pertemanan dan mendapati poster lomba menulis dari Qureta, penulis pun
lalu tertarik memastikan kebenaran pendapat itu. Bukan dengan
menelitinya secara kuantitatif, melainkan – meski sangat sederhana –
dengan melakukan penelitian kualitatif. Kasus dan keterangan dari Julius
menjadi salah satu obyek telaah.
Melalui inbox (kotak pesan) media sosialnya yang berwarna hijau yang
menandakan ia bersedia berbincang, penulis pun mengajukan pertanyaan,
“Apakah kamu memiliki musuh atau pernah berkonflik dengan sesama
Kristen?” “Tidak” jawabnya, singkat. “Kenapa gituh?” sambungnya lagi.
Saya pun bercerita perihal hubungan pertemanan dan permusuhan yang
melampaui urusan agama.
“Oh, tetapi” ia menanggapi, “Saya pernah menyaksikan sesama Kristen
yang berbeda kelompok di Bandung, berkonflik. Tak sampai adu jotos,
memang. Tetapi konfliknya, keras. Menurut saya, konfliknya bukan karena
agama, tetapi karena persoalan administrasi yang ditumpangi kepentingan
politik dan ekonomi.” Sebuah penjelasan yang menarik namun tidak terlalu
mengejutkan.
Usai berterima kasih atas keterangannya itu, saya termenung. Benak
saya berselancar di antara sekian karang konflik pelik yang pernah
terjadi di tanah air. Tergambar kasus permusuhan dan konflik antar
penganut mazhab dalam Islam. Bahkan, benak saya meliuk-liuk di antara
kasus percekcokan rumah tangga yang berakhir perceraian dan percekcokan
antar tetangga hingga konflik antar pendukung tim sepak bola, padahal
mereka seagama.
Kendati tidak berpijak pada hasil penelitian kualitatif yang rinci
sesuai prosedur ilmiah, namun sampai saat ini, keyakinan saya begitu
kuat: Faktor utama yang melahirkan hubungan pertemanan bukan kesamaan
agama, namun karena kecocokan dan kenyamanan. Pertemanan tidaklah
mengenal agama. Hubungan pertemanan bisa saja melampaui urusan agama.
Sebab, pertemanan bersifat universal dan urusan kemanusiaan belaka.
Orang berkata, korupsi tidak berjenis kelamin. Siapa pun yang
berkuasa bisa korupsi. Saya berkata, pertemanan tidak mengenal agama.
Siapa pun yang cocok dan nyaman dapat berteman. Maka, usaha memperbanyak
teman seraya menihilkan musuh, baik dari kalangan seagama maupun lintas
agama, bijaksana. Sebuah pepatah mengatakan, seribu teman terlalu
sedikit, namun satu musuh sudah terlalu banyak.
sumber: http://www.qureta.com/post/pertemanan-tidak-beragama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar